Akhir-akhir ini saya sulit tidur, bukan banyak pikiran, hanya ada beberapa hal yang harus saya kerjakan, salah satunya yang membuat saya rela tidak tidur hingga subuh ya mendengar suaramu diujung telepon. Mendengar suara dan saling tertawa, itulah yang biasa kita lakukan, selain itu membaca pesan singkat yang kamu tuliskan dengan rapih. Dalam jarak sejauh ini, tak banyak yang dapat kita lakukan, selain menulis segala tentangmu dan mendengar suaramu dari ujung telepon sungguh berbeda dengan pertemuan nyata kita kemarin saat kamu belum beranjak pulang ke kota asalmu serta melanjutkan pendidikanmu disana. Iya, saya tidak akan membahas ini lagi karena selalu ingat perkataanmu.
Kita harus berjuang dan melewati yang memang tak pernah kita minta untuk terjadi. Seperti takdir, yang datang bagai pencuri tanpa permisi datang menghampiri. Ini bukan salahmu, bukan juga salah saya. Saya dan kamu sudah tahu yang harus kita hadapi. Lalu pantaskah mengeluh? Tidak, sejauh ini perjuangan kita belum sia-sia (lebih tepatnya). Apa kamu membaca nada ketidakyakinan pada saya? Manusiawi jika manusia memiliki perasaan tak yakin, karena semua yang terjadi dikolong langit ini memang penuh ketidakpastian. Tahan kotakah kita kak? Apa yang kita perjuangkan dan kita buktikan kesemua orang? Saya hanya tak ingin menyalahi kodrat Tuhan yang membuat manusia memiliki hati, punya rasa kasih, serta rasa ingin berbagi. Masih tahan kamu berjuang denganku? Kamu ternyata tidak seperti yang saya bayangkan, kamu lebih kuat, kamu lebih tegar dari yang saya kira. Jadi sudah berapa detikkah kita lewati bersama? Ah... tidak perlu dihitung. Kebersamaan bukanlah kalkulasi yang penuh dengan jawaban pasti.
Saya merasa kamar ini terasa dingin, kantung mata ini menebal, entah siapa yang menyebabkan kehitaman dibawah mata campuran Jawa-Palembang ini. Bukan salahmu, sungguh kak, Setelah selama ini kita bersama, akankah ada surga diujung sana yang menunggu kita? Sedah berapa kali tikungan kita lewati, akankah kita lewati tikungan yang lebih tajam? Tak ada yang pasti, kita hanya tahu melangkah, terus dan terus melangkah, menikamati yang ada dikanan-kiri, mempelajari apa yang ada dihadapan kita, dan menerima apa yang sudah kita pasrahkan.
Sampai kapankah kita bersama? Sampai kapan kita menyatu seperti ini? Sampai kapan perasaan ini terus bertahan? Sampai terucap kata "saya menyayangimu" saat kamu mengecup nisanku atau sebaliknya saya yang mengecup nisanmu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar