Kamis, 25 Juli 2013

Nisanmu yang kulihat atau nisanku yang kamu lihat?

Akhir-akhir ini saya sulit tidur, bukan banyak pikiran, hanya ada beberapa hal yang harus saya kerjakan, salah satunya yang membuat saya rela tidak tidur hingga subuh ya mendengar suaramu diujung telepon. Mendengar suara dan saling tertawa, itulah yang biasa kita lakukan, selain itu membaca pesan singkat yang kamu tuliskan dengan rapih. Dalam jarak sejauh ini, tak banyak yang dapat kita lakukan, selain menulis segala tentangmu dan mendengar suaramu dari ujung telepon sungguh berbeda dengan pertemuan nyata kita kemarin saat kamu belum beranjak pulang ke kota asalmu serta melanjutkan pendidikanmu disana. Iya, saya tidak akan membahas ini lagi karena selalu ingat perkataanmu.

Kita harus berjuang dan melewati yang memang tak pernah kita minta untuk terjadi. Seperti takdir, yang datang bagai pencuri tanpa permisi datang menghampiri. Ini bukan salahmu, bukan juga salah saya. Saya dan kamu sudah tahu yang harus kita hadapi. Lalu pantaskah mengeluh? Tidak, sejauh ini perjuangan kita belum sia-sia (lebih tepatnya). Apa kamu membaca nada ketidakyakinan pada saya? Manusiawi jika manusia memiliki perasaan tak yakin, karena semua yang terjadi dikolong langit ini memang penuh ketidakpastian. Tahan kotakah kita kak? Apa yang kita perjuangkan dan kita buktikan kesemua orang? Saya hanya tak ingin menyalahi kodrat Tuhan yang membuat manusia memiliki hati, punya rasa kasih, serta rasa ingin berbagi. Masih tahan kamu berjuang denganku? Kamu ternyata tidak seperti yang saya bayangkan, kamu lebih kuat, kamu lebih tegar dari yang saya kira. Jadi sudah berapa detikkah kita lewati bersama? Ah... tidak perlu dihitung. Kebersamaan bukanlah kalkulasi yang penuh dengan jawaban pasti.

Saya merasa kamar ini terasa dingin, kantung mata ini menebal, entah siapa yang menyebabkan kehitaman dibawah mata campuran Jawa-Palembang ini. Bukan salahmu, sungguh kak, Setelah selama ini kita bersama, akankah ada surga diujung sana yang menunggu kita? Sedah berapa kali tikungan kita lewati, akankah kita lewati tikungan yang lebih tajam? Tak ada yang pasti, kita hanya tahu melangkah, terus dan terus melangkah, menikamati yang ada dikanan-kiri, mempelajari apa yang ada dihadapan kita, dan menerima apa yang sudah kita pasrahkan.

Sampai kapankah kita bersama? Sampai kapan kita menyatu seperti ini? Sampai kapan perasaan ini terus bertahan? Sampai terucap kata "saya menyayangimu" saat kamu mengecup nisanku atau sebaliknya saya yang mengecup nisanmu?

Selasa, 23 Juli 2013

Kamu, Saya, Kita.

Hallo kakak ^.^ Sudah lama ya kita tak berjumpa.

Bagaimana kabarmu disana?

Bagaimana rupamu sekarang?

Bagaimana ceritamu tanpa saya disana?

Saya punya banyak cerita yang akan saya ceritakan padamu, cerita dimana langit dan bumi yang saya lalui tanpamu sekarang.

Saya bingung mau mulai darimana ini.
Baru berapa hari lalu, tapi jari ini sudah tidak tahan melihat keyboard laptop ini sunyi tanpa ada suara berdecik kecil dari jari-jari saya. Saya disini baik-baik saja kak, lebih baik yang kamu bayangkan mungkin. Setelah beberapa hari mata ini sembab karena kepergianmu namun sekarang lebih lega karena ada Tuhan masing-masing didalam hati kita.

Semua tentang kita dari awal kita kenal masih dalam memori ini ka, tenang saja.....
Kamu mengenalkan namamu begitu saja, suara lembutmu dan uluran tanganmu yang lembut berlalu tanpa pernah saya ingat-ingat. Semua berjalan sederhana, kita bercanda, tertawa, dan kita membicarakan hal-hal manis meskipun dari jarak yang jauh, hanya berbekal telepon genggam semua itu kita lalui bersama.

Perhatian yang mengalir darimu dan pembicaraan manis kala itu hanya saya anggap sebagai hal yang tak perlu dimaknai dengan luar biasa. Kehadiranmu membawa perasaan lain, saya tak sadar bahwa kamu datang memberi perasaan yang aneh buat saya. Ada yang hilang jika sehari saja kamu menghilang, tak mengabari saya melalui pesan singkat maupun telepon. Setiap hari ada saja topik menarik yang kita bicarakan, sampai akhirnya kita berbicara hal yang sangat menyentuh yaitu hati.

Kamu bercerita tentang mantan kekasihmu dan saya bisa merasakan perasaan yang kamu rasakan, saya berusaha memahami segala yang berkaitan denganmu.

Sering saya bertanya pada diri saya sendiri, apakah kamu sudah menganggap saya sebagai wanita spesial meskipun kita tidak memiliki status dan kejalasan? Saat bertemu, kita tidak pernah bicara banyak, hanya sesekali menatap dan tersenyum penuh arti. Ketika berbicara lewat telepon kita begitu bersemangat, saya bisa merasakan semangatmu itu dari suaramu, sungguh saya masih tak percaya segalanya berjalan begitu cepat, sekarang kita sudah dikota yang berbeda dan ntah kapan lagi kita akan bertemu. Saya berusaha meyakinkan diri saya sendiri, kamu pasti akan pulang kekota kecil ini. Saya percaya bahwa candaanmu, perhatianmu, dan caramu mengungkapkan pikiran adalah nyata pertemanan kita.

Saya tak pernah ingin mengingat kenangan sendirian, saya juga tak mau merasakan sakit sendirian, tapi ternyata?????......
Perasaan ini tumbuh begitu cepat, bahkan tak bisa lagi saya kendalikan. Siapakah yang bisa menebak perasaan cinta bisa jatuh pada orang yang tepat ataupun salah? Siapakah yang pandai mengendalikan perasaan? Saya tidak sepandai dan secerdas itu, saya hanya merasakan kenyamanan dalam hadirmu kak.

Kamu sudah menjadi sebab senyum dan tawaku, saya percaya kamu tak akan menjadi penyebab sedih dan tangisku, kamu tak akan menjadi sebab air mataku, saya sangat percaya itu kak, sangat!!!!! Kalau kamu ingin tahu, saya sudah merancang jauh-jauh hari berbagai mimpi indah yang ingin saya wujudkan bersamamu, mungkin suatu saat nanti jika Tuhan izinkan, saya percaya kita bisa saling membahagiakan.

Saya tak punya hak memintamu kembali, saya juga tak punya wewenang untuk memintamu segera pulang, masih adakah yang perlu saya paksakan jika bagimu saya tak pernah menjadi tujuan? Saya tak mau munafik, saya kehilanganmu, sangat kehilangan!! Hari demi hari dilewati dengan suaramu diujung telepon meski kita berada dikota yang sama waktu itu namun keadaan tak memungkinkan kita untuk bertemu. Dulu saya terbiasa dengan candaan dan perhatianmu, namun sekarang segalanya tiba-tiba hilang. Sebenarnya, ini juga salah saya, yang bertahan diam mekipun saya punya perasaan lebih dan kuat agar tak membiarkanmu pergi, tapi ini demi masa depanmu, masa depan saya, masa depan KITA.

Minggu, 21 Juli 2013

Rutinitas yang kamu lupakan.

Assalamualaikum kakak.
Saya ingin menyapamu dengan sederhana meskipun hanya pesan singkat, bukankah itu yang membuatmu tenang kalau saya baik-baik saja disini? iya, meskipun saya selalu berharap kamu membalasnya.
Saya masih ingat dan saya masih menyimpan pesan singkat yang kamu kirimkan dulu saat saya terbangun dari tidur, mengingatkan saya jangan pernah tinggalkan sholat.

Selamat siang kak.
Dari pagi saya menunggu kabarmu disana, tapi ntahlah kakak kemana, saya selalu berfikir kamu baik-baik saja disana. Saat ini mungkin kamu masih suntuk dengan segala rutinitasmu selama diasrama sehingga rindu akan suasana rumahmu disana dan tenggelam dalam kasih sayang kedua orang tuamu, tidak masalah bagi saya, selama kamu baik-baik saja disana. Saya selalu berpikir positif, saya tidak akan meminta banyak waktumu dan sudah seharusnya saya tidak menuntut banyak hal, bukankah kamu yang mengajarkan kedewasaan ini pada saya kak?
Tapi semakin kesini, sadarkah kamu kaau rindu ini hanya sepihak? Hanya saya yang mengalami ini, hanya saya kak.
Dulu kamu rutin mengingatkan saya agar tak lupa sholat, makan malam dan banyak hal, sayapun begitu, tapi sekarang keadaan memang berubah. Kamu menghilangkan kebiasaan "mengingatkan agar tak meninggalkan sholat itu" sementara saya? saya masih mengingatkanmu, bukankah ini sepihak?

Assalamualaikum kakak, selamat malam.
Sebenarnya saya ingin bercerita banyak hal malam ini, tapi tetap saja kamu tak peduli, itu yang membuat saya harus sadar diri. Mungkin kakak lupa akan rutinitas kita dulu yang pernah kita lakukan hampir setiap malam setelah kamu selesai melaksanakan apel malam di kampusmu, diatas jam 9 malam saya atau kamu yang menghubungi duluan, bercerita banyak hal dan apa yang akan kita lakukan keesokan harinya, semua ini kenangan kak............
Entah dari rutinitas ini sudah kita lupakan dan tak kita lakukan kembali, saya tak pernah bosan dengan rutinitas itu karena saya lega bisa berbagi cerita yang tak mungkin saya bagi keteman-teman disekitar saya disini, itu yang membuat saya yakin padamu, setidaknya setiap malam kamu menelpon saya seakan jarak kita begitu dekat hingga membuat diri ini betah didekatmu dengan suaramu itu, rindu yang tak saya inginkan memuncak dan membuat sesak dihati ini, sadarkah kamu kak?

Saya bukan mengeluh, saya bukan mengajakmu untuk memperbaiki hubungan kita, bisa kamu tenangkan pikiranmu disana, jauh dari hirup pikuk rutinitas yang selama kurang lebih 2,5 tahun kamu disini lalu kamu mainkan ingatanmu dengan apa yang pernah kita lakukan dulu, dulu saat dimana kita mengawali hubungan ini. Jika ingatanmu sudah pulih dan tersusun rapih tentang apa yang kita awali dulu sampai saat ini, bercerminlah padanya. Saya sudah jauh-jauh hari saat saya mempertahankamu secara sepihak. Sapaan pagi, siang, sore ketika saya pulang sekolah dulu sampai malam hingga mata ini tak kuat lagi menahan rasa kantuk yang sering kamu lakukan kini semuanya terbalik, saya yang melakukannya dan saya harus melakukannya untuk mengingatkan bahwa hubungan yang sudah tertata rapih itu tidak kita sudahi dengan perbedaan-perbedaan kecil hingga saya, kamu, dan kita, disudahi dengan sia-sia. Lalu kamu kemana? Oh iya, saya lupa kamu sibuk dengan segala rutinitasmu disana untuk menamatkan diplomatmu sehingga membuat saya harus sadar diri.

Sadarkah kamu kak, kalau mempertahankan bukan hanya ada satu saja yang memperjuangkannya? Dan sadarkah kamu kalau setiap hubungan harus ada saya dan kamu? Bukan saya yang mempertahankanmu saja, saya yang selalu mengingatkan komitmen, kepercayaan dan bagaimana mengetahui siapa yang mengabari dan dikabari, komunikasi harus kita pegang erat.

Sekarang, seakan kamu tidak butuh lagi komunikasi layaknya yang kamu lakukan dulu, padahal ada cara yang paling sederhana untuk membuat kamu dan saya percaya "saling memberikan kabar bagaimanapun caranya melalui pesan singkat" itupun kalau kakak mau. Pernahkah kamu berpikir kalau komunikasi yang semakin berkurang saat ini membuat kita menemukan titik yang sama yaitu titik dimana kita sama-sama : JENUH.

Sabtu, 20 Juli 2013

Kota kecilku, Bumi Khatulistiwa.

Ya ampun saya sulit mendeskripsikan apa yang akan saya tulis, oh maaf ini saja belum memulai tahap penuisan hanya sebatas angan dan pikiran ntah liar kemana.
Feeling apa ini??!! Sepertinya tak mampu saya jelaskan dengan kata-kata seolah tak pasti.
Saya pikir semua berjalan begitu saja, lancar tanpa hambatan dihari itu layaknya angin yang membuat dedaunan berjatuhan tanpa ada sedikitpun rasa ragu.
Tapi ternyata semua membekas menimbulkan ruang sesak didada. Tiba-tiba semua kenangan selama 11bulan terakhir ini membuat nafas tertahan, tak dapat bersiklus secara normal.
Sesak memang, tapi air mata tak keluar sedikitpun ketika saya berhadapan langsung denganmu, Alhamdulillah!!!
Ternyata perasaan yang murni ini tak sanggup menerima kepergianmu, ingatan saya tentang awal perkenalan samapai detik ini secara tidak sadar mereview semua kenangan yang pernah kita jalani bersama. Ntah dari masalah kecil sampai perhatian-perhatian yang kita selipkan bersama begitu saya rindukan. Seolah lutut ini ingin bertekuk lemah dan menyerah dengan mendengar kepergianmu. Saya biarkan ini mengalir tanpa jeda meskipun ada yang bertentangan dengan akal sehat saya.
Seharusnya saya langsung berlalu, tanpa melewati perpisahan dengan seorang yang sangat saya percaya meskipun dalam satu kota namun saya paham dengan segala keterbatasan kami yang bisa dihitung jari bila bertemu. Ini justru membuat semuanya bertambah berat, hati gelisah antara kesedihan dan penyesalan ketika diberi waktu untuk masih bisa bertatap muka belum saya pergunakan secara baik. Tak pernah saya mendapati perasaan yang seperti ini sebelumnya.
Bila dulu hanya terdengar deringan telepon saja hati ini sudah bukan kepalang bahagianya, urusan bertemu atau tidaknya bukan jadi masalah, hanya saling menjaga kepercayaan satu sama lain dan belum membayangkan betapa sulitnya membangun kepercayaan dari jauh ketika kami terpisah jarak, status bukan masalah bagi saya, lantas yang menyesakkan ketika dia pergi untuk pendidikan disana? Semoga perasaan yang saya rasakan sama halnya seperti dirimu, ada kebimbangan tersendiri ketika kita terpisah jarak, ada sisi lain yang mungkin akan hilang seiring dengan berjalannya waktu kedepan. Tapi hati ini masih seutuhnya milikmu selama kita masih percaya satu sama lain.
Saya sadar bahwa kamu tidak akan kembali lagi kesini, setidaknya dalam beberapa tahun kedepan bahkan bertahun-tahun lamanya. Saya juga sadar kapan lagi kita bisa meraut cerita yang sama seperti kita berkenalan kemarin. Meski sekota, meski jarang bertemu namun banyak hal yang bisa saya petik dari cerita kita kemarin, banyak hal yang mesti saya pelajari, terutama tentang mengerti dan memahami orang lain. Semua itu terasa tragis saat saya belum bisa berjanji dan memberi jaminan padamu untuk saya bertemu kamu dan kembali merajut cerita bersama lagi dan menebus semua kesalahan yang saya torehkan selama berkenalan denganmu.
Kamu banyak mengajarkan saya secara tidak langsung, dari hal-hal kecil yang selalu kamu ingatkan pada saya padahal mulanya saya anggap itu hal sepele ternyata itu yang sekarang menjadi tamparan buat saya ketika melihatmu untuk yang terakhir kalinya.
Dan itulah yang menjadi sesak dihati, kontradiksi antara sedih atau menyesal dan bahagia melihat kamu pulang daerah asalmu dan kembali berkumpul dengan keluargamu yang sangat amat kamu rindukan dibagian timur sana.
Saya hanya benci perpisahan dan ketidakpastian bahwa saya tak bisa memberikan yang terbaik buatmu yang telah banyak menghiasi kehidupan saya semenjak kamu hadir.
Saya tidak anti dengan perubahan, saya hanya belum bisa terima dan benci ketika harus kembali berdaptasi dan memulai semua dari nol.
Sudahlah, saya berjanji pada diri saya sendiri karena saya perlu banyak berbenah dan banyak sekali belajar dari pengalaman yang kemarin kita ukir bersama tanpa ada rasa bimbang atau apapun ketika hilang dalam sekejap dihadapan saya sendiri, melihat dan mengantarkanmu sampai ke tempat dimana kamu datang kemari ketika 2,5 tahun lalu saja sudah lebih dari cukup buat saya.
Saya harus menghentikan tulisan ini sebelum sesak ini menjadi-jadi dihati.
Terima kasih banyak kak, kamu yang pernah menjadi bagian dari hidup saya, banyak merubah pola pikir saya, banyak mengajarkan hal-hal yang saya anggap mulanya sepele padahal itu yang menjadikan saya secara tidak langsung menjadi hal buruk yang ada didiri saya yang harus saya tinggalkan, banyak yang saya sampaikan padamu namun tak bisa saya tulis sekalipun dengan kata-kata, saya selalu ingat pesanmu, saya akan selalu ingat dengan slogan-slogan kecilmu yang membuat bibir ini tersenyum kecil ketika mendengar suaramu meski hanya diujung telepon.
"Hey kak, saya tidak akan melupakanmu yang saya khawatirkan justru kamu yang melupakan saya".
Memang perkenalan kita begitu singkat bagi saya, 11bulan tidak terasa dengan mengenal pribadi yang baik dan jujur sepertimu.
Saya percaya hidup ini keajaiban, masing-masing dari kita tidak pernah tau dipertemukan kembali atau tidak dengan seorang yang pernah menjadi bagian dalam hidup ini. Sekarang, kita harus hadapi ini bersama meski hanya langit yang menjadi atap kita dan tak lupa segala yang terbaik untukmu selalu hati ini tak pernah lelah meminta pada yang kuasa dan untuk dipertemukan kembali dalam keadaan kita yang telah mencapai cita-cita yang kita inginkan dimasa depan.
Bila saya harus menyelesaikan tulisan ini, tak banyak yang bisa saya ungkapkan karena terlalu banyak warna yang telah kamu sisipkan dikehidupan saya. Saya tidak pernah menyesal bertemu denganmu, selain sudah seperti kakak sendiri kamu juga banyak mengajarkan menjadi teman bahkan hati ini menganggapnya lebih, saya percaya setiap orang yang pernah berkenalan denganmu pasti akan merasa nyaman bila ada disekitarmu.
Semua kenanganmu, kenangan kita cukup hati ini yang menyimpannya, namamu takkan hilang dan telah terpatri didalam ingatan dan hidup saya.
Tapi maafkan ketidakmampuan hati ini untuk belum bisa mengerti akan kegiatanmu, kesibukanmu, renaca-renacamu yang telah kamu susun sedemikian rupa bahkan perasaanmu sendiri.
Semua yang terjadi padamu, pada kita, semua itu takkan mengurangi perasaan ini padamu meski kita terhalang jarak. Saya sungguh berhutang banyak padamu karena belum sempat memberikan yang terbaik sebelum kamu pergi.
Saya tidak akan sombong bahkan berubah seperti apa jika kelak kita dipertemukan lagi dengan keadaan yang sudah pasti berbeda, sungguh hati itu murni tidak berkurang rasa sayang ini sama seperti pertama kita berkenalan, saya berharap dengan keadaan kita yang seperti ini kamu tidak lantas menjadi musuh bahkan lostcontact bagi saya.
Bila dengan bencimu kamu bisa mengingat saya, saya pun harus siap dibenci karena dilupakan dengan seorang yang telah tertanam dihati sungguh sangat melukai diri ini namun hanya diam merasakan retaknya yang tak kunjung usai.
Ingat kata-katamu yang ini? "Setiap hari kita harus onfire dek" dan "Jadikan sholat sebagai kebutuhan bukan sebagai kewajiban" dan masih banyak lagi, ini yang membuat saya sangat teramat perih ditinggal olehmu.
Kejar cita-citamu kak, bahagiakan dan buatlah bangga kedua orang tuamu disana, banyak yang masih membutuhkanmu diluar sana, merantaulah semampu langkahmu karena ilmu tak pernah habis, lengan Allah yang selalu menjadi penghantar jika hati ini begitu merindukan sosokmu di Bumi Khatulistiwa ini. Saya percaya jalan cerita ini yang telah tercatat dilauhul mahfudz dan kalaulah kita digariskan untuk bersama nantinya saya yakin kita pasti bertemu lagi dan akan indah pada waktunya.
Pecaya sama adek kak.

Selasa, 16 Juli 2013

"Sesaat Sebelum Kepergianmu"

Pagi ini ntah apa yang berkecamuk dihati saya, teringat kejadian tadi malam saat saya membuka akun pribadi twitter saya, disana saya melihat beberapa temanmu berkata tentang jadwal cuti yang dimajukan, tersentak saya kaget membacanya dan hanya bisa menarik nafas yang panjang, hingga malampun semakin larut dan mata ini tidak lagi sanggup rasnya untuk membuka, sebelum terlelap tak henti air mata ini berderai dan saya hanya bisa berdoa dari sini agar kamu selalu baik-baik saja dimanapun kamu berada sekarang maupun ketika kamu pulang ke kota asalmu nanti.
Saya bukan menangisi kepergianmu, tapi saya menangisi keadaan kita yang sampai sekarang belum membaik, ntah karena kedua-duanya dari kita memiliki ego yang sangat kuat sehingga komunikasi terpustus seketika, saya juga tidak punya hak untuk menghentikan langkahmu untuk mengejar cita-cita di Jatinangor sana, sudah saya kalahkan perasaan ini untuk terlihat baik-baik saja didepan semua orang terutama kamu. Kamu tau? Gimana rasanya orang yang kamu sayang menghilang tak bak ditelan bumi? Padahal masih dalam satu kota yang sama. Gimana bingungnya saya menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan dari mulut papa mama mengenai dirimu kak? Harus berapa kali lagi mulut ini berdusta menjawab pertanyaan dari kedua orang tuaku? Harus berapa lama saya menahan  perih dihati ketika saya bicara dusta kepada orang tua saya tentang dirimu saat ini? Kalau saja kamu bisa mengerti sedikit saja tentang saya kak.
Bukankah kita kenal secara baik-baik? Kenapa detik-deik sebelum kamu pergi kita harus begini? Saya paham amarah yang kamu tunjukan waktu itu, saya sengaja menulis tentangmu diakun saya sendiri dengan maksud AGAR KAMU TAU sejak kamu memlih status kita hanya teman perasaan ini seakan-akan hanya jadi mainanmu yang bisa kamu gunakan ketika kamu perlu saja. Bukan dendam atau semacamnya saya menulis tentangmu, saya tak pandai menceritakan hal pribadi saya ke banyak orang sekalipun dengan orang tua sendiri apalagi teman, meskipun teman dekat yang bisa saya percaya ada yang mungkin mereka bisa meminjamkan bahu mereka untuk tempatku mencurahkan segalanya, tapi tidak bisa, saya ingin yang bersangkutanlah yang tau, dan kamu, kamu harus tau ini semua sesaat sebelum kamu pergi.

"Buatmu"

Ayolah kakak... jarak kita ini udah jauh, kalau bukan komunikasi yang stabil dan baik-baik aja, apalagi yang harus kita perbuat? Mama nanyain kamu hampir tiap hari lhooo.. kamu gak ngertikan gimana bingungnya saya mencari alasan untuk menjawab setiap pertanyaan tentangmu? :"

Senin, 15 Juli 2013

"Cukup Saya"

Hanya menunggu kabarmu dari ujung telpon.
Hampir setiap malam saya melihat layar handphone yang tak pernah jauh dari genggaman, orang yang ditunggu selalu tidak menyadarinya, apakah saya salah menitipkan sebongkah hati kepadamu? Saya paham akan kesibukanmu diasrama sana, saya juga sangat paham kita dibatasi dengan jarak yang jauh, tapi tidakkah kamu berpikir ada diposisi saya? Delapan bulan yang lalu, saya hanya mendengarkan paparan argumenmu untuk melepas semua yang ada, "kita" tidak lagi satu, hanya kamu sendiri yang menginginkan itu terjadi, sedangkan saya? Saya hanya diam membisu sambil menahan derai air mata yang jatuh diujung telepon, saya mencoba imbangi apa yang kamu mau, semua yang saya lakukan demi kamu sampai-sampai perasaan saya sendiri tidak saya hiraukan, betapa rapuhnya hati ini ketika orang yang saya sayang mengakhiri semuanya, ntah apa yang ada dipikiranmu saat itu, saya berusaha membunuh ego yang ada didiri ini. Kemana hati kecilmu? Kepercayaan yang saya beri padamu hancur seketika, apa kamu pikir hati ini bisa kamu setting semaumu sehingga bisa kamu gunakan ketika kamu butuh? Perasaan saya sama seperti perempuan yang lain, yang dengan mudahnya rapuh ketika dikecewakan, tapi jika ini maumu, jika ini yang membuatmu bangga, lakukanlah semaumu sampai kamu mencapai titik puas, sehingga tidak ada lagi Annisa Annisa lain yang merasakan ini, cukup saya.

Hanya sepotong curahan hati yang tidak perlu kamu tahu.

Dunia maya, yah.. disini kita dipertemukan, disini pula kita pernah membagi kisah yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan.
31 Agustus 2012 masih melekat diingatan saya, ketika media chatting kamu gunakan untuk kita saling menyapa. Perkenalan kita memang bisa dibilang instan, dari kepolosan dan kejujuranmu mebuat saya percaya bahwa kamu pria yang tepat, kamu selalu mengisi suasana sehingga saya selalu nyaman jika didekatmu meski jarak kita jauh meskipun berada disatu kota yang sama. Tapi saya tidak bisa memaksakan perasaan saya sendiri karena waktu itu saya juga tidak tahu apa kamu juga memiliki perasaan yang sama seperti saya. Maaf jika rasa sayang saya sampai saat ini masih begitu kuat sampai rasa ego ingin memilikimu masih berselimut didiri saya.
Pesan-pesan kecil yang kamu bisikkan melalui suara ataupun pesan singkat masih saya ingat sampai saat ini, panggilan "bocah" darimu yang membuat saya terseyum kecil ketika mendengarnya, itu juga yang membuat hati ini meronta melawan rindu yang tak kunjung usai, tapi sayang kamu tak mengerti sama sekali tentang ini meskinpun telah berkali-kali saya memberimu kode agar kamu mengerti bahwa yang menyangkut dengan perasaan saya bukanlah permainan.
Banyak hal yang saya dapat setelah hampir setahun kita berkenalan, mulai dari senang, sedih, kecewa, hancur, hingga dikasari belum lama ini, semua kamu ajarkan kepada saya tanpa saya tahu apa tujuanmu. Pesan singkatmu yang berisi kekesalan, amarah yang meledak masih sampai sekarang belum bisa hilang dari ingatan meskipun pesan itu sudah saya hapus agar air mata ini tidak menetes kesekian kalinya membaca pesan darimu itu.
Kakak, jujur sebelum kamu pulang saya ingin bertemu walaupun mungkin ini untuk yang terakhir kalinya, saya ingin hubungan kita membaik seperti kemarin-kemarin.