Sudah lewat delapan minggu setelah kepergianmu darikota kecil ini dan ingatanku masih tajam mengenang kita yang pernah ada. Saya pernah kamu buat tertawa dalam setiap canda kita, dalam setiap pesan singkat, dalam setiap sambungan udara dan dalam setiap tatapan mata meski dalam hitungan jari. Saat itu saya percaya bahwa kamulah yang kelak akan membuka mataku tentang cinta, mengubah persepsi bahwa cinta selalu menghadirkan dusta dan luka. Hadirmu membuat saya yakin bahwa kita sedang menuju bahagia, tapi saya yang selalu berbicara cinta ternya bisa juga salah.
Saya pernah jadi paling bahagia dalam tawamu, saya pernah jadi paling baik-baik saja saat jemarimu masih erat menggenggam jemariku, kita pernah merasa bahwa saya dan kamu jalani ini adalah yang selama ini kita cari, kebahagiaan yang nyata meskipun kita berada dalam jarak, ruang dan waktu yang berbeda.
Apalah jarak yang hanya bisa kita artikan dengan angka, angka yang menjelaskan pertemuan itubutuh nominal yang tidak sedikit, angka yang menjelaskan seberapa jauhnya saya dan kamu, angka yang sudah menjelaskan sudah berapa hari, minggu, bulan bahkan tahun kita tidak bertemu, dan dari sekian banyak angka-angka kalau kepercayaan yang tersimpan untukmu disana tidak butuh banyak nominal, tat kala angka itu tak terhingga disini. Di hati.
Siapa sangka, kita bisa dipertemukan dalam kondisi cinta yang ruangannya berbeda. Ini bukan keinginan kita, tapi dari kondisi ruang yang berbeda kita diberikan waktu yang tidak ditentukan. Bukankah setiap rencana pertemuan hadirselalu tertunda entah kamu disana dan saya disini, selalu ada masalah yanng menunda pertemuan kita. Saya tidak tau kenapa ini terjadi, tentunya hikmah dari semua ini adalah kita diajarkan sabarang lebih, perlahan memberi arti kedewasaan untuk menyikapinya.
Saya Memilihmu
Mungkin ini terdengar lucu, ada banyak orang yang lebih baik disini sedangkan saya memilih dan bertahan dengan kamu yang jauh disana, ini berarti tanpa alasan, simplenya ketika kita dihadapkan dengan inginnya menyatukan dua hati pasti ada rasa nyaman bukan? Rasa nyaman yang menjawab beberapa alasan yang membuat orang disekitar saya bingung karena kita bisa bertahan dan memilih dengan orang yang keberadaannya saja jauh disana. Tapi bukankah rasa nyaman itu bicara selera? Selera manusia tidak sama, apalagi bicara hati. Selera hati untuk menyamakan hati sudah tentu jauh lebih sulit keberadaannya, dan yang menjawab adalah pilihan dan pilihan yang terbaik dari nyaman adalah kamu yang jauh disana.
Kakak tau saya mengalahkan prasangka ini untukmu??
Karena dengan menjalani hal yang tak bisa dikatakan mudah ini, bahkan saya berhasil keluar dari jeratan yang bisa menghentikan langkah saya kapan saja. Atas apa yang pernah yang saya pikirkan dan saya bayangkan, saya berhasil bertahan dan membalikan keadaan, pernah terbesit dalam pemikiranku berbagai macam hal yang kamu lakukan disana tanpa saya tau disini, tapi tersentak saya sadar bahwa perjuangan yang kita tanam dari awal kini sedang tumbuh, perlahan muncul batang dan daun muda yang isinya bisa dengan kecurigaan, ego yang kuat dan emosi yang meledak-ledak, tapi sampai saat ini saya masih bertahan karena saya yakin sesulit apapun keadaan dan prasangkaku memaksa, saya tak pernah membiarkan apa yang sudah kita pejuangkan sejauh ini menjadi sia-sia hanya karena emosi dan prasangka sesaat. Itupun karena saya yakin bahwa ini bukan maksudmu membuat saya merasakn hal ini, ini hanya keadaan dan keegoisan perasaan sedih dan marah karena kecewa akan suatu hal yang seharusnya bisa saya pikirkan lebih jernih lagi. Karena kenyataan tak akan mendahului masanya, dan prasangka tak akan jadi nyata jika tak diizinkan atau usaha kita merubahnya.
Menyerah bukan opsi alternatif bagi saya, dan menyalahkan keadaan tak akan memeperbaiki apapun. Pikirkan lagi, keadaan ini menguji kita atau kita yang menguji keadaan? Kita berhasil mengalahkan ego atau ego yang berhasil mengalahkan kita? Kita saling mengimbangi atau saling membiarkan sendiri?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar