Sabtu, 28 September 2013

Inikah Rasanya Jarak?

Perlahan semua berubah. Setiap pagi aku membuka mata dan beranjak dari tempat tidur berharap hari-hariku berjalan seperti biasanya meski tanpamu. Sering kali aku terbiasa melirik layar handphone, namun tak ada lagi ucapan-ucapan manis yang memasok energiku. Ada sesuatu yang hilang di setiap pagi sejak bulan Juli itu.

Aku menjalani semua aktivitasku seperti biasa dan tentu kamu tahu itu. Dulu, kamu memang selalu mengerti kegiatan dan segala rutinitasku, namun sekarang tak ada lagi kamu yang berperan aktif dalam siang dan malamku. Tak ada lagi pesan singkat yang mengingatkan pola makan ataupun menjaga kesehatan. Bukan masalah besar memang, aku sangat tahu apa yang seharusnya aku lakukan, aku paham akan hal itu.. tapi tentu kamu tahu ka, tak semudah itu mengikhlaskan perpisahan.

Rasa ini begitu absurd dan sulit untuk dideskripsikan, aku benci pada perpisahan, entah mengapa dalam peristiwa itu harus ada yang terluka, sementara yang lainnya bisa saja tertawa ataupun bahagia. Kamu tertawa dan aku terluka, kita seperti saling menyakiti, tanpa tahu apa yang patut dibenci, kita seperti saling memendam dendam, tanpa tahu apa yang dipermasalahkan.

Jam berganti hari, dan semua berputar... tetap berotasi. Aku jalani hidupku, tentu tanpa kamu disini dan kamu lanjutkan hidupmu. Sembilan minggu setelah kepergianmu, aku mulai suka dengan air mata yang seringkali jatuh untukmu, aku mulai menikmati napas sesak yang memuncak ketika mengingatmu disana. Masih ingat rencana-rencana kecil kita ketika kita masih dalam satu kota yang sama? Masih ingat tempat-tempat yang mau kita kunjungi namun terhalang dengan cepatnya kepergianmu? Masih ingat dengan komit kita? Masih ingat dengan ledek-ledekan kecil yang membuat kita tertawa meski melalui layar handphone? Masih ingat dengan tempat dimana pertama kali kita bertemu? Semua itu masih terekam jelas dimemoriku ini, tentangmu dan Tuhan mengizinkanku hanya dalam waktu 11bulan untuk mengenalmu dikota ini.

Jarak sejauh ini tak mampu membuat kita berbuat dan bergerak lebih banyak. Seakan-akan aku dan kamu tak meiliki ruang untuk saling bertemu atau menatap. Inikah rasanya jarak yang setiap harinya hanya bisa berbincang melalui udara tanpa bisa bertemu?

Aku hanya bisa bisa menghela napas, membayangkan jika kamu bisa terus ada disampingku dan merasakan yang kurasakan, maka mungkin tak ada air mata ketika hanya tulisan dan suara yang menguatkan kita. Apalah arti ratusan kilometer jika kita masih mengeja nama yang sama? Apakah arti jauhnya jarak jika aku dan kamu masih sangat mungkin mempertahankan semuanya? Kita jarang sekali bertemu, jarang sekali bertatapan, dan jarang sekali bersama dalam waktu yang sama. Tak seperti yang lain, tapi tak masalah buatku. Rasa cemburu, rasa ragu dan rasa rindu sebenarnya itu hanya pemanis, tak ada hal yang sangat berat jiak kita melaluinya bersama.

Berbicara tentang perpisahan, benarkah kita telah berpisah? Benarkah kita sudah saling melupakan? Jika memang ada kata "saling" tapi mengapa hatiku masih terus mengikatmu? Dan mengapa saat ini kamu tak benar-benar menjauh? Kadang, jarak tak menjadi alasan untuk kita saling berbagi. Dalam serba ketidakjelasan, aku dan kamu masih saja menjalani ..... menjalani sesuatu yang tak tahu harus kusebut apa. Tapi katamu, rasamu masih sama seperti dulu, sama tak ada yang berubah. Kalau boleh jujur, kata "dulu" begitu akrab diotak, pikiran dan hati ini. Seperti ada sesuatu yang terjadi, sangat dekat, sangat dalam, sampai-sampai tak mampu menghapus begitu saja oleh angkuhnya jarak dan waktu.

Tak usah dibawa serius ka, ini hanya beberapa paragraf bodoh yang aku tulis untuk menemani rasa sepi yang seringkali datang menghantui. Sejak kamu tak lagi disini, sejak kita memilih jalan sendiri-sendiri, aku lebih sering berteman akrab dengan sepi, bahkan diantara tugas kuliahku yang membuat jemariku pegal dan diantar kertas-kertas yang berserakan aku masih saja sering mengingat tentang apa yang kita jalani dulu, iya.. itu dulu, masa lalu yang masih ada kamu dan aku. Sudah aku bilangkan sebelumnya "DULU" itu memang menyenangkan.

Sampai sekarang, tak ada status yang benar-benar jelas. Kadang kita menjauh, kadang kita berdekatan. Kita seperti daerah yang berbataskan sungai, sama-sama berhadapan tapi enggan bersentuhan. Kita terlalu sering dipsahkan jarak, terlalu sering memperdebatkan hal-hal yang sepele, tapi rindu masih menggenggam kendali, lebih jelasnya lagi KAMU DAN AKU BELUM BENAR-BENAR SALING MELUPAKAN.

Selasa, 17 September 2013

Delapan Minggu Setelah Kepergianmu.

Sudah lewat delapan minggu setelah kepergianmu darikota kecil ini dan ingatanku masih tajam mengenang kita yang pernah ada. Saya pernah kamu buat tertawa dalam setiap canda kita, dalam setiap pesan singkat, dalam setiap sambungan udara dan dalam setiap tatapan mata meski dalam hitungan jari. Saat itu saya percaya bahwa kamulah yang kelak akan membuka mataku tentang cinta, mengubah persepsi bahwa cinta selalu menghadirkan dusta dan luka. Hadirmu membuat saya yakin bahwa kita sedang menuju bahagia, tapi saya yang selalu berbicara cinta ternya bisa juga salah.

Saya pernah jadi paling bahagia dalam tawamu, saya pernah jadi paling baik-baik saja saat jemarimu masih erat menggenggam jemariku, kita pernah merasa bahwa saya dan kamu jalani ini adalah yang selama ini kita cari, kebahagiaan yang nyata meskipun kita berada dalam jarak, ruang dan waktu yang berbeda.

Apalah jarak yang hanya bisa kita artikan dengan angka, angka yang menjelaskan pertemuan itubutuh nominal yang tidak sedikit, angka yang menjelaskan seberapa jauhnya saya dan kamu, angka yang sudah menjelaskan sudah berapa hari, minggu, bulan bahkan tahun kita tidak bertemu, dan dari sekian banyak angka-angka kalau kepercayaan yang tersimpan untukmu disana tidak butuh banyak nominal, tat kala angka itu tak terhingga disini. Di hati.

Siapa sangka, kita bisa dipertemukan dalam kondisi cinta yang ruangannya berbeda. Ini bukan keinginan kita, tapi dari kondisi ruang yang berbeda kita diberikan waktu yang tidak ditentukan. Bukankah setiap rencana pertemuan hadirselalu tertunda entah kamu disana dan saya disini, selalu ada masalah yanng menunda pertemuan kita. Saya tidak tau kenapa ini terjadi, tentunya hikmah dari semua ini adalah kita diajarkan sabarang lebih, perlahan memberi arti kedewasaan untuk menyikapinya.

Saya Memilihmu
Mungkin ini terdengar lucu, ada banyak orang yang lebih baik disini sedangkan saya memilih dan bertahan dengan kamu yang jauh disana, ini berarti tanpa alasan, simplenya ketika kita dihadapkan dengan inginnya menyatukan dua hati pasti ada rasa nyaman bukan? Rasa nyaman yang menjawab beberapa alasan yang membuat orang disekitar saya bingung karena kita bisa bertahan dan memilih dengan orang yang keberadaannya saja jauh disana. Tapi bukankah rasa nyaman itu bicara selera? Selera manusia tidak sama, apalagi bicara hati. Selera hati untuk menyamakan hati sudah tentu jauh lebih sulit keberadaannya, dan yang menjawab adalah pilihan dan pilihan yang terbaik dari nyaman adalah kamu yang jauh disana.

Kakak tau saya mengalahkan prasangka ini untukmu??
Karena dengan menjalani hal yang tak bisa dikatakan mudah ini, bahkan saya berhasil keluar dari jeratan yang bisa menghentikan langkah saya kapan saja. Atas apa yang pernah yang saya pikirkan dan saya bayangkan, saya berhasil bertahan dan membalikan keadaan, pernah terbesit dalam pemikiranku berbagai macam hal yang kamu lakukan disana tanpa saya tau disini, tapi tersentak saya sadar bahwa perjuangan yang kita tanam dari awal kini sedang tumbuh, perlahan muncul batang dan daun muda yang isinya bisa dengan kecurigaan, ego yang kuat dan emosi yang meledak-ledak, tapi sampai saat ini saya masih bertahan karena saya yakin sesulit apapun keadaan dan prasangkaku memaksa, saya tak pernah membiarkan apa yang sudah kita pejuangkan sejauh ini menjadi sia-sia hanya karena emosi dan prasangka sesaat. Itupun karena saya yakin bahwa ini bukan maksudmu membuat saya merasakn hal ini, ini hanya keadaan dan keegoisan perasaan sedih dan marah karena kecewa akan suatu hal yang seharusnya bisa saya pikirkan lebih jernih lagi. Karena kenyataan tak akan mendahului masanya, dan prasangka tak akan jadi nyata jika tak diizinkan atau usaha kita merubahnya. 
Menyerah bukan opsi alternatif bagi saya, dan menyalahkan keadaan tak akan memeperbaiki apapun. Pikirkan lagi, keadaan ini menguji kita atau kita yang menguji keadaan?  Kita berhasil mengalahkan ego atau ego yang berhasil mengalahkan kita? Kita saling mengimbangi atau saling membiarkan sendiri?